Pada tanggal
18 Desember 1941, Jepang melakukan pemboman terhadap pangkalan Angkatan Laut
Amerika Serikat di Pearl Harbour (Hawai). Setelah pemboman itu
dilakukan, baru disampaikan pernyataan perang secara resmi terhadap Amerika
Serikat. Kemudian secara serentak Jepang bergerak masuk ke Asia Tenggara dengan
taktik gerak cepat. Sasarannya adalah Indo-Cina, Muang Thai, Birma, Malaya,
Filipina dan Hindia Belanda (Indonesia).
Di Indonesia
Jepang memperoleh kemajuan yang pesat. Berturut-turut kota minyak
seperti Tarakan, Balikpapan jatuh pada bulan Januari 1942, kemudian Pontianak
dan Palembang pada bulan Pebruari 1942. Dalam pertempuran di Laut Jawa
pada tanggal 19 Februari 1942, Jepang berhasil menghancurkan armada gabungan
Sekutu. Sehingga terbukalah pintu gerbang ke Pulau Jawa. Mengetahui kenyataan
itu, Gubemur Jendral Hindia-Belanda memindahkan pemerintahannya ke Bandung.
Pimpinan
tentara sekutu di Jawa adalah Letnan Jendral H. Ter
Poorten. Sedangkan tentara Jepang yang dikerahkan merebut Pulau Jawa
dipimpin oleh Letnan Jendral Hitosyi Imamura. Pada tanggal
1 Maret 1942 mereka mendarat di tiga tempat sekaligus, yaitu Teluk Banten, di
Eretan (Jawa Barat) dan di Kragan (Jawa Tengah). Tanggal 5 Oktober 1942 dengan
mudah Jepang memasuki kota Jakarta (Batavia). Dalam rangka menyerbu Bandung,
Jepang menduduki Subang dan Pangkalan Udara Kalijati. Kemudian mereka bergerak
ke pusat pertahanan Belanda/Sekutu di Bandung dan Pegunungan Priangan.
Di Cianter
(garis depan pertahanan Belanda/Sekutu) pasukan Belanda terdesak sampai ke
Lembang. Akhirnya pada tanggal 8 Maret 1942, Belanda menyerah dan harus
menandatangani perjanjian yang dikenal sebagai Kapitulasi Kalijati.
Perjanjian tersebut berisi penyerahan tanpa syarat Belanda/Sekutu terhadap
Jepang. Dalam perundingan tersebut pihak Sekutu diwakili oleh Letnan Jendral
Ter Poorten. Dalam perjanjian itu hadir pula Gubemur Jendral Belanda di
Indonesia, Tjarda Van Starkenborg Stachouwer. Sedangkan
pihak Jepang diwakili Letnan Jendral Hitoshi Imamura.
Setelah
penyerahan kedaulatan tersebut, Indonesia dibagi atas tiga wilayah pemerintahan
militer pendudukan, yaitu:
1.
Tentara ke enam belas (Angkatan Darat) memerintah di Jawa dan Madura, dengan
pusat pemerintahan di Jakarta/Batavia.
2.
Tentara ke duapuluh lima, memerintah di Sumatera, berpusat di Bukit Tinggi
3.
Armada Selatan Kedua memerintah Kalimantan, Sulawesi, Nusatenggara, Maluku dan
Irian Jaya, pusatnya di Ujung Pandang
PERGERAKAN
NASIONAL PADA ZAMAN JEPANG
GERAKAN 3 A
Untuk
mendapatkan dukungan rakyat Indonesia, Jepang mempropagandakan dirinya sebagai
saudara tua yang akan membantu bangsa Indonesia untuk membebaskan diri dari
cengkeraman bangsa Barat. Untuk itu kemudian pemerintah pendudukan Jepang
membentuk Gerakan 3 A, yaitu:
1.
Nippon Cahaya Asia
2.
Nippon Pelindung Asia
3.
Nippon Pemimpin Asia
Namun
gerakan ini tidak berumur lama, karena tidak mendapat simpati dari rakyat.
Untuk dapat menarik simpati rakyat Indonesia, Jepang menawarkan kerjasama kepada
tokoh-tokoh Pergerakan Nasional. Pemimpin-pemimpin Indonesia seperti lr. Soekarno,
Moh. Hatta, Sutan Syahrir, dan lain-lain dibebaskan dari
penahanan Belanda.
Kemudian
empat orang nasionalis terkemuka, yang dikenal dengan sebutan Empat
Serangkai, yakni : Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta,
K.H. Mas Mansyur dan Ki Hajar Dewantara mendapat kepercayaan
untuk membentuk gerakan baru, yang diberi nama PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat)
pada tanggal 16 April 1943. Sebenarnya tujuan Jepang membentuk PUTERA adalah untuk
membujuk kaum nasionalis sekuler dan golongan intelektual agar mau
mengabdi kepada kepentingan Jepang. Namun dalam prakteknya, para pemimpin
Indonesia malah memanfaatkan PUTERA untuk kepentingan bangsa Indonesia. Dengan
menggunakan media komunikasi massa milik Jepang, seperti surat kabar dan radio,
pemimpin Indonesia dapat komunikasi dengan rakyat secara lebih luas.
Dalam
perkembangannya, Jepang menganggap bahwa PUTERA lebih bermanfaat bagi pihak
Indonesia daripada untuk Jepang. Oleh karena itulah Jepang membentuk organisasi
baru, yaitu Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa). Alasan pembentukan
organisasi ini adalah rakyat perlu dihimpun tenaganya lahir-batin sesuai dengan
Hokoseisyin (semangat kebaktian). Sebagai organisasi sentral terkendali,
Jawa Hokokai, terdiri dari beberapa macam Hokokai Profesi seperti: lzi
Hokokai, Fujinkai, Keimin Bunka Syidoso, dan
lain-lain.
MIAI
(Majelis Islam ‘Ala Indonesia)
Walaupun
pemerintah militer Jepang mengekang aktifitas kaum nasionalis, akan tetapi
golongan nasionalis Islam mendapat perlakuan lain. Golongan ini memperoleh
kelonggaran, karena Jepang menilai golongan ini paling anti Barat dan mudah dirangkul.
Oleh karena itu pada bulan November 1943, Jepang memperkenankan berdirinya MIAI
(Majelis Islam ‘Ala Indonesia) yang sebenarnya sudah dibentuk sejak
zaman penjajahan Belanda. Dalam waktu singkat MIAI tumbuh menjadi sebuah
organisasi yang besar. Hal ini tidak diperkirakan oleh Jepang sebelumnya.
Sehingga tokoh-tokoh MIAI mulai diawasi. Pada bulan Oktober 1943 MIAI
dibubarkan dan diganti dengan organisasi lain yaitu MASYUMI (Majelis Syuro
Muslimin Indonesia). Masyumi dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Mas
Mansyur, K.H. Farid Ma'ruf, Kartosudarmo. K.H. Nahrowi dan Zainul
Arifin.
PENGERAHAN
TENAGA UNTUK USAHA PERANG JEPANG
Sejak awal
tahun 1943 situasi Perang Pasifik mulai berubah. Jepang mulai merasakan
serangan Sekutu di Pasifik, terutama dalam pertempuran laut di sekitar Midway
dan di Laut Karang. Karena kehabisan tenaga manusia untuk
keperluan perang, maka Jepang berupaya mendapatkannya dari negeri jajahan.
Sehingga memasuki tahun kedua dari pendudukannya, Jepang secara intensif
melatih pemuda-pemuda Indonesia di bidang militer.
Pada tanggal
9 Maret 1943 didirikan Seinendan (barisan pemuda). Anggota Seinendan
adalah pemuda-pemuda berusia 14-22 tahun. Sedangkan di sekolah-sekolah, para
pelajar diwajibkan bergabung dengan Gokutotai (barisan pelajar). Tanpa
disadari Jepang di dalam kedua organisasi tersebut telah bersemi semangat
nasionalisme. Bahkan pada pucuk pimpinan Seinendan duduk beberapa nasionalis
muda seperti Sukarni, Abdul Latif, dan lain-lain. Selain
Seinendan dibentuk pula Keibodan (barisan bantu polisi) bagi semua
laki-laki berbadan sehat berusia 23 -25 tahun.
Untuk
pengerahan tenaga wanita, maka pada bulan Agustus 1943 dibentuk Fujinkai
(himpunan wanita). Memasuki tahun 1944, Jepang semakin terdesak, satu demi satu
wilayah pendudukan Jepang jatuh ke tangan sekutu, bahkan serangan Sekutu mulai
diarahkan langsung ke negeri Jepang. Dalam keadaan demikian, pemerintah Jepang
membentuk barisan-barisan semi militer lainnya. Pada tanggal 1 November 1944
dibentuk Suishintai (barisan pelopor) yang merupakan hasil sidang Cuo
Sangi In (Dewan Pertimbangan Pusat) pada pertengahan tahun 1944.
Barisan pelopor merupakan organisasi pemuda yang dipimpin oleh kaum nasionalis
Indonesia, seperti lr. Soekarno (ketua), R.P. Soeroso (wakil),
Otto lskandardinata, Dr. Buntaran Martoatmodjo, dan lain-lain. Barisan pelopor
merupakan "onderbouw" dari Jawa Hokokai. Disamping itu pada tanggal 8
Desember 1944 dibentuk Jibakutai (Barisan Berani Mati). Sedangkan pada
tanggal 15 Desember 1944 dibentuk Kaikoseinen Teishintai, yaitu barisan semi
militer dari kaum muda Islam yang lebih dikenal sebagai Hizbullah (Tentara
Allah).
Pada bulan
April 1943 dikeluarkan pengumuman yang isinya memberi kesempatan kepada pemuda
Indonesia untuk menjadi Heiho (pembantu prajurit Jepang). Heiho langsung
ditempatkan dalam organisasi militer Jepang. Sebagai pembantu prajurit Jepang
sebenarnya Heiho lebih terlatih dibandingkan Peta. Bhakan diantara anggota
Heiho ada yang dipercaya sebagai pemegang senjata anti pesawat tank, artileri
medan, pengemudi, dan lain-lain. Mereka juga ikut bertempur di front Solomon,
Irian, Birma dan lain-lain.
TENTARA PETA
Sebelum
pembentukan Peta, Jepang melatih pemuda-pemuda Indonesia untuk tugas intelejen.
Latihan yang dipimpin oleh Letnan Yanagawa ini, akhirnya berkembang
menjadi latihan khusus dalam Seinen Dojo (panti latihan pemuda)
yang terletak di Tangerang. Panglima tentara ke-16 Letnan Jendral
Kumakici Harada menghendaki agar pembentukan tentara Peta dibuat sedemikian
rupa seolah-olah merupakan usul dari bangsa Indonesia sendiri. Maka dipilihlah Gatot
Mangkupraja untuk mengajukan permohonan kepada Gunseikan, agar
dibentuk tentara yang segenap anggotanya terdiri dari orang Indonesia. Surat
permohonan tersebut dikabulkan melalui Osamuseirei No. 44, 3 Oktober
1943 yang isinya menetapkan dibentuknya Tentara PETA (Pembela Tanah Air).
Berbeda dengan Heiho, di dalam PETA terdapat jenjang kepangkatan, sebagai
berikut :
1. Daidanco
(komandan batalyon)
2. Cudanco
(komandan kompi)
3. Shodanco
(komandan peleton)
4. Budanco
(komandan regu)
5. Geyuhei
(prajurit sukarela)
Calon
perwira Tentara Peta mendapat latihan militer untuk pertama kalinya di Bogor.
Setelah lulus mereka ditempatkan di daidan-daidan Jawa, Madura, dan Bali
sebagai Daidanco. Adapun tempat latihan untuk para calon Budanco
terdapat di Magelang dan di Cimahi. Tentara Peta berperan penting selama
Perang Kemerdekaan Indonesia dan sesudahnya.
PEMERAHAN
SOSIAL-EKONOMI
A. PEMERAHAN
BAHAN MAKANAN
Ketika
Jepang menduduki Indonesia, obyek-obyek vital dan perangkat-perangkat produksi
telah hancur. Sehingga pada awal pendudukan Jepang, sebagian besar kehidupan
ekonomi lumpuh. Untuk mencegah meningkatnya harga barang, maka dikeluarkan
peraturan pengendalian harga dan pelanggarnya dijatuhi hukuman berat. Semua
harta benda dan perusahaan perkebunan bekas milik orang sekutu disita dan
beberapa perusahaan vital seperti pertambangan, listrik, telekomunikasi dan
perusahaan transport langsung dikuasai pemerintah pendudukan Jepang.
Dalam
kondisi perang, Jepang menerapkan sistim ekonomi Autarki, artinya
setiap daerah harus dapat memenuhi kebutuhannya sendiri dan harus pula dapat
menunjang kebutuhan perang. Tanaman kopi, teh, dan tembukau
dikategorikan tanaman untuk kenikmatan dan kurang berguna untuk usaha perang
Jepang. Maka perkebunan untuk ketiga tanaman tersebut diganti dengan tanaman
pangan dan tanaman jarak untuk pelumas yang berguna dalam situasi
perang. Sedangkan tanaman Kina dan Karet yang diperlukan
untuk perang dipelihara dengan baik. Karena persediaan gula dianggap cukup,
maka rakyat dilarang menanam tebu dan membuat gula.
Pada tahun
1944 keadaan perang semakin kritis, maka kebutuhan perang semakin meningkat
pula. Maka dilancarkan kampaye pengerahan barang dan bahan makanan secara
besar-besaran. Pengerahan ini dilakukan oleh Jawa Hokokai, Nogyo Kumiai
(Koperasi Pertanian) dan instansi-instansi resmi pemerintah lainnya.
Sejak tahun
1942 kebutuhan pangan rakyat sudah tidak mencukupi, dan terus bertambah parah.
Maka pemerintah Jepang memerintahkan memperbesar produksi pangan dan membuka
areal baru. Di Sumatera Timur dibuka 10.000 hektar ladang padi baru. Di Pulau
Jawa 500.000 hektar hutan ditebang secara liar. Di Kalimantan dan Sulawesi
penduduk diwajibkan menanam padi. Dari jumlah hasil panen rakyat hanya boleh
memiliki 40% saja. Sedangkan yang 30% diserahkan kepada pemerintah melalui Kumiai
Penggilingan Padi dan dibeli dengan harga yang telah ditentukan oleh
pemerintah. Sisanya sebanyak 30% lainnya disediakan untuk bibit dan disetorkan
ke lumbung desa.
B. PEMERAHAN
TENAGA KERJA
Untuk
keperluan perang, Jepang membutuhkan tenaga kerja yang banyak untuk membangun
sarana pertahanannya, seperti kubu-kubu pertahanan, gua-gua, gudang-gudang
bawah tanah, lapangan udara darurat, dan sebagainya. Desa-desa diwajibkan
meyediakan sejumlah tenaga Romusha menurut jatah tertentu.
Panitia pengerahan romusha itu disebut Romukyokai yang ada di
setiap daerah. Karena tenaga kerja Romusha umumnya petani, maka besar
pengaruhnya bagi merosotnya perkonomian desa.
Di
tempat-tempat mereka bekerja, mereka diperlakukan dengan kasar, kesehatan dan
makanan tidak terjamin, sehingga banyak diantara mereka yang meninggal. Oleh
karena itu banyak orang takut menjadi romusha. Untuk menghilangkan ketakutan
penduduk, sejak tahun 1943 Jepang melancarkan kampanye baru, bahwa romusha
sebagai "prajurit ekonomi'' atau "pahlawan pekerja". Pada bulan
Januari 1944, Jepang memperkenalkan sistem Tonarigumi (rukun
tetangga), yang terdiri 10-20 rumah tangga. Beberapa tonarigumi
dikelompokkan menjadi kru (desa atau kota). Maksud diadakan tonarigumi
adalah untuk mempermudah mengawasi dan mengendalikan penduduk, dan memperlancar
kewajiban-kewajiban yang dibebankan pada penduduk.
1. penyerbuan Tentara Jepang
ke Asia Tenggara
Pada tanggal 7 Desember
1941, tentara Jepang secara mendadak mengadakan serangan terhadap pangkalan
Angkatan Laut Amerika di Pearl Harbour, Hawai. Lima jam setelah peristiwa itu,
Pemerintah Hindia Belanda mengumumkan perang kepada Jepang.
Invasi Jepang ke Asia
Tenggara mula-mula ditujukkan ke Hongkong. Walaupun Inggris mengadakan
perlawanan, tetapi tidak berlangsung lama. Pada tanggal 25 Desember 1941,
Hongkong resmi diduduki oleh Jepang. Penyerbuan selanjutnya ditujukkan terhadap
Malaysia yang merupakan pusat pertahanan Inggris yang vital. Inggris
mempertahankan Malaysia secara mati-matian, tetapi akhirnya berhasil
dilumpuhkan pada bulan Februari 1942. serangan berikutnya dilancarkan ke Jepang
ke wilayah Birma. Akhirnya Jepang berhasil menguasai Birma pada bulan Mei 1942.
Daerah yang menjadi
serangan berikutnya adalah Filipina. Tentara Jepang yang dipimpin oleh Jendral
Masaharu Homma mendapat perlawanan yang hebat dari tentara Amerika Serikat
dibawah komandan Jendral Douglas Mac Arthur. Namun, lambat laun pertempuran pun
tidak seimbang, maka Presiden Rooselvelt memerintahkan Mac Arthur mengundurkan
diri ke Australia. Sebelum meninggalkan Filipina, Mac Arthur berucap, “I shall
return” (saya akan kembali).
Guna mengantisipasi
serangan Jepang, negara-negara sekutu di Asia Tenggara setelah membentuk
komando gabungan dengan nama Abdacom (American, British, Dutch, Australian
Command). Komandan tertingginya dijabat oleh Marsekal Sir Archibald Wavell
(Inggris), komandan angkatan laut adalah Laksamana Thomas C. Harth (Amerika),
komandan angkatan darat adalah Letnan Jendral Hein Ter Poorten (Belanda), dan
komandan angkatan udara adalahMarsekal Richard E,C. Pierce (Australia).
Markas besar Abdacom berada
di Lembang (Jawa Barat), sedangkan markas besar Angkatan Lautnya di Surabaya.
Untuk pertahanan di laut, sekutu membagi daerah perairan Asia Tenggara atas
tiga bagian. Wilayah barat, dimulai dari Laut Cina Selatan, Laut Hindia, dan
Singapura, merupakan tanggung jawab Inggris. Wilayah perairan Makasar terus ke
timur menjadi tanggung jawab Amerika dan Australia, sedangkan Laut Jawa menjadi
tanggung jawab Belanda.
Abdacom memiliki sejumlah
kelemahan, yaitu:
a.
Jumlah
tentaranya tidak memadai dibandingkan dengan jumlah tentara Jepang.
b. Mereka tidak pernah mengdakan latihan bersama. Sistem perang maupun sistem komandonya masing-masing berbeda. Sebaliknya, pihak Jepang memiliki tentara dalam jumlah besar. Mereka dibawah satu komando terlatih dan memiliki semangat bushido yang tinggi
b. Mereka tidak pernah mengdakan latihan bersama. Sistem perang maupun sistem komandonya masing-masing berbeda. Sebaliknya, pihak Jepang memiliki tentara dalam jumlah besar. Mereka dibawah satu komando terlatih dan memiliki semangat bushido yang tinggi
b.
Dalam
serangannya terhadap Sekutu di Laut Cina Selatan, kapal Inggris Prince of Wales
dan Repulse berhasil ditenggelamkan oleh 50 pembom berani mati Jepang. Dan
akhirnya setelah peristiwa itu Abdacom berantakan, komandan tertinggi yaitu Sir
Archibald Wavell akhirnya terpaksa meninggalkan Indonesia karena sudah tidak
bisa dipertahankan lagi dan meningkir ke India untuk mempertahankan India.
2.
Penyerbuan
Tentara Jepang ke Indonesia
Dalam serangannya ke
Indonesia, tentara Jepang memperoleh kemajuanyang sangat cepat. Secara
gemilang, Jepang menduduki Tarakan pada tanggal 11 Januari 1942, Palembang pada
tanggal 14 Januari, Manado pada tanggal 17 Januari, Balikpapan pada tanggal 22
Januari, Pontianak pada tanggal 22 Februari, dan Bali pada tanggal 26 Februari
1942.
Dalam upaya merebut pulau
Jawa, Jepang membentuk Operasi Gurita. Gurita Barat dimulai dari Indo-Cina
melalui Kalimantan Utara dengan sasaran Pulau Jawa, sedangkan Gurita Timur
dimuai dari Filipina melalui selat Makasar menuju Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Operasi Gurita Barat tidak mengalami kesulitan mendarat di Eretan (Indramayu)
dan Banten, sedangkan Gurita Timur harus menghadapi Sekutu dalam pertempuran
laut dekat Balikpapan (Kalimantan Timur). Juga di Laut Jawa (The Battle of the
Java Sea) terutama diperairan antara Bawean, Tuban, dan Laut Rembang
berlangsung pertempuran selama 7 jam pada tanggal 27 Februari1942.
Untuk menghindari semakin
banyak korban, terutama keluarga-keluarga Belanda yang semakin banyak memadati
daerah Kalijati, Belanda terpaksa menyerah kalah terhadap Jepang pada tnggal
Maret 1942 dan menandatangani perjanjian Kalijati. Perjanjian itu ditandatangani
bersama oleh Tjarda van Starkenborgh Starchouwer (Gubernur Jendral
Hindia-Belanda) dan Jendral Hitoshi Imamura (Koman Gurita Barat) dari Jepang
serta Letnan Jendral Heindrik Ter Poorten (Pnglima Tentara Belanda).
3.
Kebijakan
Politik Jepang pada Awal Pedudukan
Organisasi-organisasi yang
dibentuk untuk kepentingan Militer Jepang itu adalah sebagai berikut:
a.
Gerakan
Tiga A
Gerakan
Tiga A adalah organisasi yang mula-mula dibentuk dengan semboyan: Nippon Cahaya
Asia, Nippon Pemimpin Asia, Nippon Pelindung Asia. Jepang mampu sebagai Cahaya
(penerang), Pemimpin, dan Pelindung bagi negara-negara Asia lainnya. Dan
ternyata Gerakan Tiga A tidak bertahan lama karena tidak mendapat simpati
rakyat.
b.
Pusat
Tenaga Rakyat (Putera)
Untuk
menarik simpati rakyat, pemerintah militer Jepang menawarkn kerja sama dengan
para pemimpin indonesia. Oleh karenanya, tokoh-tokoh pergerakan Nasional,
seperti Ir. Soekarno, Drs. Moh Hatta, dan Sultan Syahir dibebaskan. Para
pemimpin bangsa Indonesia itu bersedia bekerja sama dengan pemerintah militer
Jepang. Dengan adanya persetujuan kerja sama, dibentuklah organisasi baru
bernama Putera (Pusat Tenaga Rakyat). Organisasi ini dipimpin oleh empat
serangkai, yaitu Ir. Soekarno, Drs. Moh Hatta, K.H. Mas Mansyur, dan Ki Hajar
Dewantara.
Pusat
tenaga Rakyat yang dibentu pada 16 April 1945. organisasi ini disusun sengan
pimpinan pusatnya di Jakarta. Organisasi-organisasi profesi yang menjadi
anggota Putera, antara lain: Persatuan Guru Indonesia, Perkumpulan Pegawai Pos,
Telegraf, dan Radio, Isteri Indonesia, Barisan Banteng, Badan Perantara
Pelajar-pelajar Indonesia, dan Ikatan Sport Indonesia.
c.
Jawa
Hokokai
Dengan
alasan Potera lebih menguntungkan Indonesia, Pemerintah militer Jepang
membentuk Organisasi baru, yaitu Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa). Alasan
pembentukan Jawa Hokokai adalah agar Indonesia dihimpun tenaganya lahir dan
batin untuk digalang kebaktiannya sesuai dengan hokoseisyen (semangat
kebaktian). Di dalam tradisi Jepang ada tiga dasar utama, yaitu rela
mengorbankan diri, mempertebal persahabatan, dan mengerjakan sesuatu harus
menghasilkan bukti. Pimpinan organisasi ini berada ditangan Gunseikan (kepala
pemerintah militer) dan ditiap derah dipimpin oleh Syucokan (gubernur/residen).
Jawa
Hokokai terdiri dari berbagai macam hokokai profesi diantaranya Izi Hokokai
(Himpunan Kebaktian Dokter), Kyoiku Hokokai (Himpunan Kebaktian Pndidik),
Fujinkai (Organisasi Wanita), dan Ke imin Bunko Syidosyo (Pusat Budaya).
d.
Chou
Singi-In
Memsuki
awal tahun 1943 Jepang mulai melemah. Mereka mengalami kekalahan beruntun di
berbagi front pertempuran. Pada tanggal 8 Januari 1943, Perdana Menteri Tojo
mengumumkan secara resmi bahwa Filipina dan Birma akan memperoleh
kemerdekaannya pada tahun itu juga, sedangkan mengenai Indonesia tidak
disinggung sama sekali. Pernyataan itu dapat menyinggung perasaan kaum
nasionalis dan rakyat Indonesia umumnya. Oleh karena itu, Perdana Menteri Tojo
menganggap perlu mengirim Menteri Urusan Asia Timur Raya, Aoki, ke Jakarta awal
bulan Mei 1943. Aoki adalah Menteri Jepang pertama kali yang ada di Indonesia.
Sehubungan dengan pertemuan tokoh-tokoh empat serangkai dengan Menteri Aoki
itulah, maka pada tanggal 7 Juli 1943, Tojo datang ke Jakarta.
4. Romusha Praktik Kolonialisme Jepang
Romusha
(労務者 rōmusha:
"buruh", "pekerja") adalah panggilan bagi orang-orang
Indonesia yang dipekerjakan secara paksa pada masa penjajahan Jepang di
Indonesia dari tahun 1942 hingga 1945. Kebanyakan romusha adalah petani, dan
sejak Oktober 1943 pihak Jepang mewajibkan para petani menjadi romusha. Mereka
dikirim untuk bekerja di berbagai tempat di Indonesia serta Asia Tenggara.
Jumlah orang-orang yang menjadi romusha tidak diketahui pasti - perkiraan yang
ada bervariasi dari 4 hingga 10 juta.
Dalam
sejarah kolonialisme, Jepang merupakan negara pertama di Asia yang memiliki
pandangan dan aksi kolonialisme. Kolonialisme Jepang memang pada akhirnya
menjadi kolonialisme yang sangat pendek. Kolonialime Jepang memang belum
sebanding jika disandingkan dengan kolonialime bangsa bangsa Eropa atas Asia,
Afrika, dan Amerika dalam sejarah abad ke-15 hingga ke-20.
Memang
harus diakui, Jepang sempat mengejutkan Eropa, menjelma menjadi kekuatan
kapital-militeristik yang membuat repot Eropa dan Amerika. Beroperasinya
kolonialisme Jepang disusun oleh Tanaka arsitek perang modern yang juga menjadi
perdana menteri Jepang waktu 1927-1929. Pikiran pikiran Tanaka ditungakannya ke
dalam Memorandum Tanaka. Memorandum ini berisi rencana Jepang untuk memikul
tugas suci untuk memimpin bangsa bangsa Asia Timur. Pandangan ini pada akhirnya
mewujud menjadi doktrin dengan nama Hakko I Chiu; dunia dalam satu keluarga
dibawah pimpinan Jepang.
Terinsipirasi
dari semangat ini, berubahlah Jepang menjadi kekuatan militer yang sangat
disegani. Dalam sejarah perang dunia 2, kemampuan militer Jepang dalam sesaat
mampu menghancurkan sekutu, dan dalam sekepap menguasai Asia Tenggara dan
sebagian pasifik. Dominasi Jepang ini pada akhirnya berakhir dengan tragis,
dalam satu hari pada 9 Agustus 1945 pesawat pembom B 29 milik Amerika Serikat
menjatuhkan bom atom di KotaHiroshima dan Nagasaki. Inilah momentum kekalahan
Jepang, serta berakhir pulalah dominasinya di Asia timur dan sebagian Pasifik.
Masuknya
Jepang ke Indonesia, awalnya disambut gembira oleh para pejuang kemerdekaan
waktu itu. Jepang dianggap sebagai saudara, sesama Asia yang membantu mengusir
Kolonial Belanda . Namun, sesaat setelah Jepang mendarat di Hindia Belanda
(Indonesia-saat ini), ternyata Jepang berbuat yang tak kalah licik dan
bengisnya. Jepang berupaya menghapus pengaruh kultural barat yang telah hinggap
di Hindi Belanda, dan yang kedua Jepang mengeruk sumber sumber kekayaan alam
startegi yang ada di tanah air kita. Pasokan sumber sumber ala mini digunakan
untuk membiayai perang Jepang dengan Sekutu di Asia Timur dan Pasifik.
Luasnya
daerah pendudukan Jepang membuat Jepang memerlukan tenaga kerja yang begitu
besar. Tenaga kerja ini dibutuhkan untuk membangun kubu pertahanan, lapangan
udara darurat, gudang bawah tanah, jalan raya dan jembatan. Tenaga tenaga kerja
ini diambilkan dari penduduk Jawa yang cukup padat. Para tenaga kerja ini
dipaksa yang popular di sebut denga Romusa. Jejaring tentara Jepang untuk
menjalankan romusha hingga ke desa desa. Dalam catatan buku ini, setidaknya ada
300.000 tenaga romusha yang dikirim ke berbagai negara di Asia Tenggara, 70.000
orang diantaranya dalam kondisi menyedihkan da berakhir dengan kematian.
Para
romusa juga melibatkan kaum perempuan. Mereka dibujuk rayu di iming iming
mendapatkan pekerjaan, namun mereka di bawa ke kamp kamp tertutup untuk
dijadikan wanita penghibur (Jugun Ianfu).
Romusa
juga melibatkan tokoh tokoh pergerakan waktu itu. Mereka dipaksa oleh Jepang
untuk menjadi tenaga tenaga paksa tersebut. Diantara para romusa yang berasal
dari tokoh pergerakan adalah Soekarno dan Otto Iskandardinata. Mereka berdua
dipaksan tentara pendudukan Jepang untuk membuat lapangan udara darurat.
Jepang
melakukan rekruitmen calon calon romusa, pola tingkatan, serta alokasi tenaga
kerja paksa ini. Basis paparannya melihat praktik romusa dan proyek proyeknya
di Gunung Madur dan sekitar Banten. Namun pada saat yang sama, Jepang berhasil
memanipulasi keberadaan romusa ini ke dunia internasional. Untuk menyamarkan
keberadaan romusa, Jepang memperhalus istilah romusa dengan “pekerja ekonomi”
atau pahlawan pekerja.
5.
Jugun
ianfu
Jugun ianfu adalah istilah
yang digunakan untuk merujuk kepada wanita penghibur (bahasa Inggris comfort
women) yang terlibat dalam perbudakan seks selama Perang Dunia II di koloni
Jepang dan wilayah perang.
Jugun ianfu merupakan
wanita yang dipaksa untuk menjadi pemuas kebutuhan seksual tentara Jepang yang
ada di Indonesia dan juga di negara-negara jajahan Jepang lainnya pada kurun
waktu tahun 1942-1945.
Menurut riset oleh Dr.
Hirofumi Hayashi, seorang profesor di Universitas Kanto Gakuin, jugun ianfu
termasuk orang Jepang, Korea, Tiongkok, Malaya (Malaysia dan Singapura),
Thailand, Filipina, Indonesia, Myanmar, Vietnam, India, Indo, Belanda, dan
penduduk kepulauan Pasifik. Jumlah perkiraan dari jugun ianfu ini pada saat
perang, berkisar antara 20.000 dan 30.000. Pengakuan dari beberapa jugun ianfu
yang masih hidup jumlah ini sepertinya berada di batas atas dari angka di atas.
Kebanyakan rumah bordilnya berada di pangkalan militer Jepang, namun dijalankan
oleh penduduk setempat, bukan militer Jepang.
-
Di
Indonesia
Para perempuan Indonesia
biasanya direkrut menjadi jugun ianfu berdasarkan paksaan (diambil begitu saja
di jalan atau bahkan di rumah mereka), diiming-imingi untuk sekolah ke luar
negeri, atau akan dijadikan pemain sandiwara (seperti yang terjadi pada ikon
perjuangan jugun ianfu asal Indonesia, Ibu Mardiyem).
-
Rumah
bordil sebagai bagian dari kebijakan militer Jepang
Penelitian sejarah ke dalam
pemerintah Jepang mencatat beberapa alasan untuk pendirian rumah bordil
militer. Pertama, penguasa Jepang mengharapkan dengan menyediakan akses mudah
ke budak seks, moral dan keefektivan militer tentara Jepang akan meningkat.
Kedua, dengan mengadakan rumah bordil dan menaruh mereka di bawah pengawasan
resmi, pemerintah berharap dapat mengatur penyebaran penyakit kelamin.
Terakhir, pengadaan rumah bordil di garis depan menyingkirkan kebutuhan untuk
memberikan ijin istirahat bagi tentara.
Pada tahap awal perang,
penguasa Jepang mengambil pelacur melalui cara konvensional. Iklan yang
menawarkan pekerjaan sebagai pelacur muncul di koran-koran yang terbit di
Jepang dan koloni Jepang di Korea, Manchukuo, dan daratan Tiongkok. Banyak yang
menanggapi iklan ini dahulunya merupakan pelacur dan menawarkan jasa mereka
sukarela. Yang lainnya dijual oleh keluarga mereka kepada militer karena
kesulitan ekonomi.
Namun, sumber ini dengan
cepat mengering, terutama dari Jepang. Menteri Urusan Luar Negeri menolak
pengeluaran visa perjalanan bagi pelacur Jepang, karena merasa akan mencemari
nama Kekaisaran Jepang. Militer kemudian mencari wanita penghibur di luar
Jepang, terutama dari Korea dan Tiongkok. Banyak wanita dibohongi dan ditipu
untuk bergabung ke rumah bordil militer. Lainnya diculik. Pelacur Jepang yang
tetap tinggal di rumah bordil militer sering menjadi karayukisan, atau manajer
rumah bordil, menyisakan wanita penghibur non-Jepang menjadi korban pemerkosaan
beruntun.
Militer juga mengumpulkan
wanita penghibur dari daerah setempat. Di wilayah perkotaan, iklan konvensional
melalui orang ketiga digunakan bersama dengan penculikan. Namun, di garis
depan, terutama di negara di mana orang ketiga jarang tersedia, militer secara
langsung pemimpin lokal untuk menyediakan wanita untuk rumah bordil. Situasi
ini menjadi buruk ketika perang berlanjut. Di bawah tekanan usaha perang,
militer menjadi tidak bisa menyediakan persediaan yang cukup untuk tentara
Jepang; sebagai tanggapan, tentara Jepang meminta atau merampok persediaan dari
daerah setempat. Terlebih lagi, ketika orang setempat, terutama Tiongkok,
dianggap berbahaya, tentara Jepang mengadakan kebijakan pembersihan , yang
termasuk penculikan dan pemerkosaan penduduk setempat.
Menurut wanita penghibur
yang masih hidup menggambarkan rumah bordil Jepang tempat yang mengerikan.
Wanita dibagi menjadi tiga atau empat kategori, tergantung lamanya pelayanan.
Wanita yang paling baru yang lebih tidak mungkin terkena penyakit kelamin
ditempatkan di kategori tertinggi. Namun, dengan berjalannya waktu, wanita
penghibur diturunkan kategorinya karena kemungkinan terkena penyakit kelamin
lebih tinggi. Ketika mereka dianggap terlalu berpenyakit untuk digunakan lebih
lanjut, mereka diabaikan. Banyak wanita melaporkan uterus mereka membusuk dari
penyakit yang diperoleh oleh ribuan lelaki dalam waktu beberapa tahun.
Ketika usaha perang
mengalami kemunduran dan militer mengevakuasikan posisi mereka di Asia
Tenggara, wanita penghibur non-Jepang ditinggalkan. Banyak wanita penghibur
mati kelaparan di pulau-pulau yang ditinggalkan ribuan mil dari rumah mereka.
Beberapa dapat kembali ke tempat asalnya di Korea atau timur laut Tiongkok.
Berikut adalah gambar para
Romusha di Indonesia